6/10/2013 -
aulia's sketch
No comments
Cerpen di lomba cerpen majalah kawanku
Aku dan si dosen. Banyak
cerita lucu tentang aku dan dosen sialan ini. Yup, dosen sialan. Gimana nggak
sialan, dengan secara sengaja dosen itu bikin aku jatuh cinta. Dosen sialan .
hahahha
Semua berawal dari aku
dan dosen muda baru yang tengil nggak karuan. Namanya keren sih, Mahastra. Tapi
orangnya jauh dari kata keren. Songong, sok cuek, sok misterius, sok jaim sama
mahasiswa, padahal baru selesai coas. Huh. Mahastra emang dosen paling dicintai
di jurusanku, ya gara-gara apalagi kalau nggak karena dia ganteng, masih muda,
dan dokter. Tapi nggak tau ya, nggak ada tuh rasanya aku suka dia kayak
mahasiswa lain, SEDIKITPUN! Tapi, cerita berubah gara-gara kenalan dadakan sama
keluarga dan ibu. Hari itu emang hari yang agak memilukan, bapak yang
sakit-sakitan beberapa bulan selama aku PKL harus meninggalkan aku dan keluarga
tepat setelah aku PKL. Dan menyedihkannya adalah, aku harus pulang kerumah dari
tempat PKL ku dengan dianter Mahastra, gara-gara kemaleman dan kita searah
jalan pulang.
“ kok, gang depan
rumahmu rame ya dek ?” tanya Mahastra (dia manggil dek, karena menurut dia,
semua mahasiswanya adalah adeknya.)
“ nggak tau ya pak,
mungkin ada acara tetangga. Tapi kok ramenya pada make baju hitam ya.” Kali itu
aku panik, bener-bener bingung. Aku Cuma bisa menduga-duga saja dan dugaanku
melayang kemana-mana.
Setelah turun dari mobil
Mahastra, aku bener-bener nggak tau harus berbuat apa. Aku Cuma bisa ngelihat
ibuk, dan 2 adikku Sintani dan Vava duduk disamping keranda tanpa tutup, dan
jasad yang sudah dibungkus rapi dan tertutup rapat kain jarik. Aku jalan dengan langkah gontai, aku udah
dapet jawaban dari dugaanku selama di mobil. Bapak pergi, pergi jauh
meninggalkan aku, sintani yang masih SMP kelas 2, dan Vava yang masih SD kelas
4, juga Ibu yang terus bekerja keras di toko perabotan rumah tangga milik
keluarga di pasar. Rasanya mau ambruk, tapi Mahastra seperti tau apa yang aku
rasain.
“ sabar ya ila, aku
temenin kamu.” Dia berbisik pelan sambil memegang dua lengan tanganku, dan
tetap berjalan mengikutiku tanpa melepas tangannya sedikitpun dariku. Aku
menatapnya sekilas, dan melanjutkan pandanganku kearah rumah dengan tatapan
kosong.
Di samping pintu aku
berdiri, dan dek Vava yang menyadari kehadiranku menyenggol-nyenggol lengan
ibuk yang masih khusyu’ membaca yasiin disamping jasad bapak.
“ nak, sudah sampai? Kok
nggak ngabarin mau pulang?” ibuk bertanya sambil buru-buru berdiri dan
memelukku, menggantikan posisi tangan Mahastra di lenganku.
“ bapakmu pergi nak,
kamu bisa kuat kan?” ibu bertanya lagi, sambil terus mendekap aku.
“ kapan bu? Kapan bapak
nggak ada?” tanyaku dengan setengah berbisik
“ tadi nak, tadi sore.
Sakit bapakmu sudah nggak bisa ditahan lagi.”
Kami menangis, dan
Sintani juga Vava mendatangi aku dan ibuk sambil memanggil namaku dan memeluk
kami berdua. Aku, ibuk, Sintani, dan dek Vava saling berpeluk, seolah ingin
saling menutupi rongga sakit akan kehilangan bapak. Dan ditengah hari biru itu,
Mahastra berbisik di telinga kiriku dimana ibu sedang menyandarkan kepala di
pundak kananku.
“ Ila jangan nangis,
bapak kamu pasti butuh banyak do’a, dan akan semakin susah kalo liat
keluarganya menangisi, ikhlaskan Ila.”
Tapi walaupun Mahastra
berbisik, ibuk tetap mendengar suara Mahastra dan menyadari keberadaannya yang
terus dibelakangku seperti bodyguardku. Ibuk melepas pelukan kami, dan menatap
dengan senyum ramah yang terkesan dipaksakan kearah Mahastra.
“ ini siapa Ila, kok
bawa temen nggak dikenalkan.” Tanya ibuk padaku
“ oh, ini.. do..” belum
sempat aku melanjutkan, Mahastra sudah memotong ucapanku.
“ saya, temannya Ila
tante, nama saya Mahastra.” Sambil mengulurkan tangan ingin menjabat tangan
ibuk, tapi dengan senyum ramah ibuk mengangkat kedua tangan membentuk salam
tanpa menyentuhkan tangan. Sontak saja, Mahastra kaget dan ikut mngangkat kedua
tangan membentuk salam di depan dada sambil berkata maaf.
Singkat cerita, malam
itu juga Mahastra ikut membantu segala kerepotan dirumah dan istirahat dirumah
karena semua keluarga dan kerabat terdekat berada diluar kota yang cukup jauh
dan lama jarak tempuhnya. Dia sepeti abangku, abangnya Sintani, abangnya dek
Vava, dan anaknya bibuk juga selama ikut membantu-bantu dirumah. Esok paginya,
jasad bapak dikuburkan, dan Mahastra banyak mengobrol dengan ibuk. Entah, ibuk
seperti telah dekat dengan Mahastra, dan diam-diam aku suka melihatnya.
3 hari setelah
meninggalnya bapak, aku jadi dekat dengan dia. Dia banyak bercerita tentang
kehidupannya, tentang ibunya yang ternyata telah tiada, dan tentang 2 kakaknya
yang entah pergi kemana. Banyaaaaakk sekali. Dan sekali lagi, entah, aku merasa
terlalu dekat dengan dosenku ini. Terlalu dekat, hingga aku banyak dicibir di
kampus jurusan ilmu gizi. Dia sering mengantarku pulang, membantuku mencari
pekerjaan part time, dan sering juga memberi barang-barang remeh atau sekedar
makanan-makanan kecil kerumah. Aku yang awalnya benci, tapi terlalu membenci
ternyata lebih mudah membuatku jatuh hati. Banyak sekali pelajaran yang
diajarkannya padaku, mulai dari tentang tegar, tentang belajar, dan tentang
terus semangat menghadapi keadaan. Semuanya benar-benar membuatku jatuh hati,
tapi aku malu mengakui. Dan seperti biasa, seolah tau apa yang kurasakan, dia
memulai mengakui untuk mendahului. Hanya dengan 1 kertas memo ini dia membuatku
jatuh hati, hingga akhir semester ini..
Aku menemukan senyummu dalam senyumku,
menemukan matamu di mataku, menemukan tawamu di tawaku, aku menemukan ibumu di
mimpiku. Dan sekarang, aku ingin menemukanmu di setiap bangun tidurku . will yu
?
Tentu saja jawabannya
iya, tentu saja.
0 comments:
Post a Comment