Tuesday, May 26, 2015

Buta



Mata buta, suara tercekat, telinga tertutup rapat. Pikirku terbata-bata, berlari tapi tak bisa. Leher tercekik dengan kalung jingga yang biasa dihiaskan untuk berbangga. Sekarang, jika mati pun yang lain hanya akan tertawa. Ada domba mati, karena berlari melawan ikat hiasan lehernya sendiri. 


Friday, May 01, 2015

Satu Langit



Jika kita satu langit, aku yakin jiwa kita juga satu rasa. Aku burung dan  kau ikan, tidak ada cara lain selain kamu adalah sebuah makanan. Lalu, bagaimana jika aku membawamu ke dunia ku? Mati bukan? Lalu, bagaimana pula juga aku terjun bebas ke dunia mu? Mati pula bukan? Untuk itu aku selalu membawa namamu ke dunia mimpi, dimana ikan bisa terbang, dan burung bisa menyelam. Untuk itu, aku selalu menyeret nama mu ke dunia dongeng, dimana aku dan kamu bisa menjadi satu.

Friday, April 24, 2015

Kangen



Kemana lagi aku harus mencarimu, keujung dunia kah tempat yang harus kutuju?

Ah, jika kamu pernah membaca sebuah buku cerita tentang singa yang ingin menerkam domba, percayalah bahwa ceritaku berbeda. Lebih seperti singa, kau tenang dan berjalan seperti udara. Tapi seperti angin, aku domba yang berlari dan kelaparan. Bagaimana bisa ada cinta macam ini, yang sungguh tak masuk akal.

Bagaimana bisa aku mempercayakan cinta pada yang lainnya, sedangkan aku tidak yakin mereka bisa. Mendengarkan wanita cerewet mengoceh selama berjam-jam, orang gila mana yang akan bisa? Melihat wanita yang bahkan bisa mengubah mood nya dalam satu detik tanpa sebuah alasan, mungkin mereka akan benar-benar gila menghadapinya. Wanita pemalas, yang sering lupa dengan hal-hal kecil, bahkan bisa sangat tidak peduli jika pikirannya sedang kacau, tanpa harus menunggu satu hari pun mereka pasti akan menghilang begitu saja.

Aku ingin semua kembali, memutar balik waktu sebelum mati. Aku ingin kembali ke masa sebelum kesalahan besar itu menarik segala tawa, seperti tali yang menarik leherku dengan paksa. Sakit, bahkan nafasku sesak karenanya. Aku ingin kembali melihat kau duduk dengan kesibukanmu, menatapku sesekali dengan segala keanehanku. Melihat jakunmu, yang sering naik turun ketika menelan sesuatu. Bahkan gema suaramu, suara khas laki-laki yang berat seolah menutup semua ocehanku berjam-jam yang lalu. Aku seperti kertas dengan penuh tulisan, penuh coretan, penuh warna tanpa batasan. Dan kau, sampul yang mengikatku , menutupku menjadi sebuah buku. Tanpamu, aku hanya sebuah kertas tak berarti. Hanya kertas dengan segala coretan tak pasti, tanpa arti. 


Monday, March 02, 2015

Passed Away



Semua orang pasti pernah kehilangan, tapi kehilanganmu adalah candu. Candu bagiku.
Seperti berita yang kemarin kubaca, baterai litium bersarang dalam lambung seorang anak hingga membuatnya cacat seumur hidup. Seperti itulah aku, aku cacat. Hatiku cacat karenamu, karena kepergianmu. Mengingat bahwa kamu telah tiada seperti membuatku minum racun, memaksaku untuk menenggak racun itu berkali-kali. Angin selalu membawa nafasmu melewati lekuk pipiku, membelai rambut tipis di sekitar telingaku. Menelusup dibawah rambut, membelai tengkuk kepalaku. Mengingatkanku, bahwa nafasmu telah berhenti tepat 4 tahun yang lalu. Hujan  juga bercerita padaku, melalui gemericik air kamu sering memperhatikannya melalui semua jendela maupun pintu. Katakan padaku, bahwa penggantimu itu ada. Katakan bahwa dia nyata, karena aku mulai lelah menunggunya. Katakana, bahwa aku masih ada di ruang tunggu kedatangan. Menunggunya datang, membawa obat penawar. Penawar racun yang telah berkali-kali kutelan.


Friday, February 20, 2015

breathe



Kulihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku, seolah menunggu sesuatu. Kulihat kembali sekelilingku, dan kutatap kembali jam tanganku. Aku masih tidak mengerti, apa yang hilang. Seperti ada yang kurang, aku mencarinya. 

Sore itu, cahaya langit singapura sudah mulai gelap. Cahaya-cahaya dari beberapa bangunan maupun lampu jalanan sudah mulai terlihat, seperti bintang yang mendadak berpendar. Aku dan adikku duduk di tepi jalan, di sebuah kursi tepi trotoar. Kami duduk di sekitar Arab street, sebuah jalan dengan peradaban islam yang kental di Negara singapura. Daritadi kami berjalan kesana kemari mengitari jalanan Arab street dan jalan-jalan di sekitarnya sampai kami tidak sanggup dan memilih duduk disini, di kursi trotoar jalan. Beberapa saat rasanya ada yang hilang, dan aku masih saja gelisah. Harusnya itu selalu ada ketika suasana seperti ini, aku masih saja mempertanyakannya. Langit merah, udara mulai dingin, lampu-lampu mulai menyala, dan itu harusnya ada. Kubiarkan pikiranku mencari. Sampai akhirnya, jawaban itu muncul dengan sendirinya.

Allaahuakbar.. Allaahuakbar.. Allaahuakbar.. Allaahuakbar..

Fiuuuuuuhhhh.. nafasku berhembus, nafas yang sangat dalam. Seolah telah lama terpendam, nafasku keluar dengan penuh kelegaan. Inilah yang kucari, setelah hampir 5 hari tidak mendengarnya. Suara panggilan ini, seperti nafas yang selalu kuhirup. Aku rindu akan kehadirannya, dan kejadian ini menjadi bukti bahwa nafasku terikat padaNya. Kubiarkan mataku menerawang, menelanjangi pemandangan maghribnya Singapura. Kudengarkan suara adzan dengan memahami setiap arti katanya, dan inilah bukti. Bahwa aku benar-benar telah jatuh cinta padaNya, bahwa panggilan cintaNya  sudah menjadi nafas bagiku.  Ini juga bukti, bahwa keindahan singapura tidak hanya pada patung merlionnya saja, tidak hanya pada universal studio, atau marina bay saja. Lebih dari itu, singapura memiliki masjid ini, masjid yang berdiri tegak diantara arab street ini. Harusnya aku sadar jika aku telah kehilanganNya, tapi sepertinya kebodohanku membuat aku harus menunggu 5 hari lamanya. Bahkan setelah aku harus melintasi 2 negara, aku baru menyadarinya.