5/09/2017 -
Setapak Sriwedari
No comments
Rencana
Agustus 2012, 12.00.
Segala akal gila sudah ada di
dalam kepala dan aku hanya ingin jalan yang berbeda, pikirku. Kulihat jam
tangan berulang kali, dan kulihat berjuta-juta kali satu tas jinjing berwarna
coklat yang sudah kusiap sedari malam. Pikiranku berkecamuk, apakah aku mampu? Apakah
ini bisa? Apakah aku akan baik-baik saja? Segala pertanyaan mendera taka da habisnya.
Kemudian kumantapkan kembali niatku, “kamu bisa, kamu sudah sejauh ini melangkah.
Kamu bukan perempuan yang hanya akan diam saja, kamu bisa.” Ucapku dalam hati. Entah
benar atau tidak, aku tahu apa yang kuinginkan. Kusambar tas jinjingku dan
kubawa satu tas slempang yang kukenakan di bahuku. Suara adzan siang itu lebih
mirip seperti suara panggilan perang bagiku, entah setan mana yang merasukiku
aku hanya ingin pergi dan mencari kesempatan lain dalam hidup. Dalam waktu
sekejap aku sudah berada di pinggir jalan raya, dan beberapa petunjuk dari
kawan jauhku membuatku lolos dengan menaiki bus antar provinsi berwarna putih
biru.
Tangisku kembali pecah, 5 jam
perjalanan itu seperti 5 jam diskusi. Berbicara dengan pikiranku sendiri,
mempertanyakan apakah sudah benar keputusan yang kupilih. Tapi, seperti biasa
apapun yang kupilih adalah apapun yang akan kupertanggung jawabkan hingga akhir
nanti. Solo, satu nama kota yang tidak pernah terlintas di kepalaku, bahkan
untuk bisa melanjutkan hidup disana-pun tak pernah terbayang di anganku. Kuingat
pesan dari kawanku, “ojo sampe terminal, mudun nang panggung. Sak wis e UNS
ngomongo bapake mudun panggung.”. Dan dengan pandangan nanar, kusiapkan tas dan
HP ku setelah melihat gapura bertuliskan Universitas Sebelas Maret. Langkah
pertamaku di kota orang, sendirian.
0 comments:
Post a Comment