Wednesday, May 17, 2017

Kebenaran



Pemahaman paling menyakitkan adalah memahami jalan hidup tanpa benar-benar yakin akan kebenaran, benar semua akan indah pada waktunya ataupun benar semua keyakinan akan terbayar lunas akhirnya. Kebenaran, entah itu wacana atau realita. Nyatanya, aku pernah yakin bahwa hidup takkan pernah menyeretku dengan sedemikian rupa hingga sampai di titik ini. Keluhan demi keluhan seperti kumpulan buku yang terus saja kubaca dan kucari maknanya. Berharap kebijaksanaan ada di dalam hatiku, dan tak lagi rapuh mengharap sosok sempurna sebagai tempat berlabuh.


Dulu, terang adalah kebaikan dan gelap adalah keburukan. Tapi sekarang, tak peduli itu hitam atau putih, gelap atau terang, benar atau salah, ketika semua orang dengan buta percaya pada kebenaran aku tak yakin pada apapun. Karena, tidak ada yang benar.

Tuesday, May 09, 2017

Rencana

Agustus 2012,  12.00.



Segala akal gila sudah ada di dalam kepala dan aku hanya ingin jalan yang berbeda, pikirku. Kulihat jam tangan berulang kali, dan kulihat berjuta-juta kali satu tas jinjing berwarna coklat yang sudah kusiap sedari malam. Pikiranku berkecamuk, apakah aku mampu? Apakah ini bisa? Apakah aku akan baik-baik saja? Segala pertanyaan mendera taka da habisnya. Kemudian kumantapkan kembali niatku, “kamu bisa, kamu sudah sejauh ini melangkah. Kamu bukan perempuan yang hanya akan diam saja, kamu bisa.” Ucapku dalam hati. Entah benar atau tidak, aku tahu apa yang kuinginkan. Kusambar tas jinjingku dan kubawa satu tas slempang yang kukenakan di bahuku. Suara adzan siang itu lebih mirip seperti suara panggilan perang bagiku, entah setan mana yang merasukiku aku hanya ingin pergi dan mencari kesempatan lain dalam hidup. Dalam waktu sekejap aku sudah berada di pinggir jalan raya, dan beberapa petunjuk dari kawan jauhku membuatku lolos dengan menaiki bus antar provinsi berwarna putih biru.


Tangisku kembali pecah, 5 jam perjalanan itu seperti 5 jam diskusi. Berbicara dengan pikiranku sendiri, mempertanyakan apakah sudah benar keputusan yang kupilih. Tapi, seperti biasa apapun yang kupilih adalah apapun yang akan kupertanggung jawabkan hingga akhir nanti. Solo, satu nama kota yang tidak pernah terlintas di kepalaku, bahkan untuk bisa melanjutkan hidup disana-pun tak pernah terbayang di anganku. Kuingat pesan dari kawanku, “ojo sampe terminal, mudun nang panggung. Sak wis e UNS ngomongo bapake mudun panggung.”. Dan dengan pandangan nanar, kusiapkan tas dan HP ku setelah melihat gapura bertuliskan Universitas Sebelas Maret. Langkah pertamaku di kota orang, sendirian.