1/05/2013 -
aulia's diary
No comments
Bali
Bali tahun 2010 |
Siang
tadi, aku baru aja nonton film galau yang pernah booming di kalangan anak-anak
galau jaman sekarang. Film yang diadopsi dari 2 novel karya Dee. Tahu kan film
apa itu? Pasti tau dong.. that’s it, PERAHU KERTAS. Nggak salah berarti
temen-temenku pada promosiin ini film. Bagus bangeeeett.. pemain-pemain film di
dalamnya juga keren abis. Dan dari semua pemainnya, aku tertarik sama kinan.
Kinan, laki-laki pemimpi yang sangat memperjuangkan cita-citanya. Sama dengan seseorang
di bali yang sangat aku percaya. Dulu, aku nggak terlalu kenal dia. Aku hanya
melihat sosok angkuh dari nya. Tapi, bali mengubah segalanya..
“
hei.. “ suara laki-laki dari seberang jalan raya depan matahari kutha
“
hei.. “ aku melambai dan terseyum yang memperlihatkan kedua gigi taringku
Dia
berjalan kearahku dan diam di depanku. Dalam seper sekain detik aku masih tidak
percaya bahwa dia adalah laki-laki angkuh itu, aku melihatnya dengan tatapan
tidak percaya. Sampai ucapannya membuyarkan pikiranku..
“
mau kemana ini ? “
“
o, iya keeee.. kemana ya? Hehehe “ aku gelagapan karena aku belum tahu bali
sama sekali
“ udah kemana aja tadi ? “ tanyanya kembali
“
tadi udah ke pantai nusa dua, terus ke GWK, sama ke pantai yang ada pulau kecil
terus ada pure nya itu apa namanya mas aku lupa ? “
“
oo.. itu, tanah lot. “
“
iya iya itu, tapi tadi nggak ada sunset di tanah lot ms. Tadi mendung. “ sambil
memainkan mulutku dan manyun-manyun nggak jelas
“
yuk jalan-jalan, ada kembang api di deket pantai “
“
yuk.. “
Kemudian
kami berkeliling bali sambil naik motor bututnya yang jago nyelip di tengah
kemacetan bali saat malam hari. Kami berputar-putar, hingga terdiam di pinggir
pantai kutha. Ini adalah memori paling nggak bisa hilang dari otakku. Bukan
karena terlalu indah, atau terlalu mendramantisir, tapi karena memori ini yang
paling kuingat dari bentuk kepercayaanku padanya. Dimana pun orang bertanya “
dit, dia siapa kamu? “ aku selalu menjawab “ dia mas ku “ dengan santai. Aku
percaya padanya karena aku tahu, dia selalu berada pada posisi netral yang
paling sulit kucapai. Dia selalu menggunakan akalnya untuk mendengarkan
ucapanku, dan tidak pernah berpihak dalam memilih sesuatu. Aku ingat dia pernah
menjawab ceritaku tentang kejelekan seseorang yang kuceritakan panjang lebar
kepadanya, jawaban yang mempesona.
“
gini ya, aku pengen kasih saran sama kamu. Mendingan, kamu cerita yang lain
sama aku karena aku takut aku benci juga sama orang itu. Soalnya cerita-cerita
kamu tadi bisa bikin imej dia jatuh di mata aku, sedangkan yang aku liat secara
langsung itu dia nggak jelek samasekali. Aku bukan bilang kamu bohong, tapi
mungkin itu sikap dia ke kamu dan beda lagi ke orang lain. Jadi, mendingan
nggak usah diceritain kejelekan dia. “
Aku
inget banget, bahwa jawaban dia kali itu sempat bikin aku kagum selama beberapa
detik dan kemudian terbuyarkan lagi dengan ucapannya.
Memori
kecil itu terus bersemayam di dalam otakku, memori itu semakin kuat karena
hanya kepada dia aku menceritakan masalah terbesarku. Disisi pantai kutha, kulonggarkan
pertahanan rahasia di dalam ingatanku. Kubuka satu per satu kunci yang menutup
rapat mulutku untuk bercerita dan sedikit mengurangi bebanku. Kuceritakan
segala masalah itu, cerita paling sakit yang pernah kupendam sendiri.
Sendirian. Cerita itu terus tertutup, hingga akhirnya meledak beberapa bulan
yang lalu. Ledakan kuat hingga membuatku berlari sekian kilometer jauhnya dari
rumah, dan menangis selama ber jam-jam di dalam bus. Hebat bukan? Aku dan dia
bisa menyimpan masalah itu selama 3,5 tahun lamanya. Hebat bukan? Aku bisa
menahan kebohongan itu sendiri, dan hanya mengandalkan kepercayaanku padanya.
Terimakasih dia. Terimakasih atas waktumu untuk mendengarku malam itu, karena
itu adalah satu bentuk kepercayaanku yang paling besar kepada orang lain. Itu
luapan sakitku, sakit yang kupendam dan kubawa lari ke bali, hingga ada orang
yang mampu menguatkanku dan mampu membuatku bertahan selama 3,5 tahun lamanya.
Terimakasih..
0 comments:
Post a Comment